Saya merupakan esais amatir antah berantah.
Kelompok Rentan Mesti Bertahan!
Kamis, 23 Januari 2025 15:21 WIB
Kelompok rentan adalah kelompok yang paling terdampak dari setiap persoalan yang terjadi. Suatu kewajiban bagi negara untuk memenuhi hak semua orang, tanpa terkecuali kelompok rentan. Mereka adalah kelompok yang terpinggirkan dan menjadi sasaran dari ketidakadilan.
***
“Dunia memang tidak adil, jadi biasakan dirimu,” ucap Patrick Star, salah satu tokoh di serial kartun Spongebob Squarepants. Sekilas, pandangan ini menyiratkan bahwa keadilan itu merupakan perjuangan bukan pemberian. Pilihannya hanyalah memperjuangkan keadilan atau tidak mendapatkannya sama sekali. Gambaran inilah yang menunjukan sisi gelap kehidupan manusia terhadap manusia lainnya. “Homo homini lupus,” manusia adalah serigala bagi manusia lain, ungkap Thomas Hobbes. Kelompok rentan akan selalu mendapatkan ketidakadilan lebih dari pada biasanya.
Banyak wujud kerentanan yang dialami kelompok marginal terekspos dalam banyak pemberitaan. Seperti diberitakan oleh Kompas.com (2024), Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad menyebutkan bahwa perempuan penyandang disabilitas menjadi kelompok paling rentan karena kerap mengalami diskriminasi berlapis di masyarakat sebagai akibat dari patriarkisme. Adapun BBC.com (2024) menangkap realitas pahit tentang kisah Muhriyono, seorang petani di Desa Pakel, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Ia ditangkap polisi karena dugaan mengeroyok petugas keamanan PT Bumisari Maju Sukses ketika terjadi eskalasi konflik agraria antara warga dengan perusahaan perkebunan tersebut. Lebih jauh lagi, catatan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) melaporkan terdapat 2.442 orang yang mengalami kriminalisasi sepanjang dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kelompok rentan lainnya adalah LGBT. Dilansir dari BBC.com (2023), seorang anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) berinisial RYP di Kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat dipecat karena “diduga LGBT dan “bertindak asusila” setelah videonya berangkulan dengan perempuan lainnya viral di media sosial. Menurut pandangan pegiat HAM dan komunitas LGBT, pemecatan itu adalah “diskriminatif” dan “tak berdasar”, hingga berdampak RYP kehilangan haknya untuk bekerja dan mencari nafkah. Bahkan, dasar aturan pemecatan tersebut dipertanyakan.
Rangkaian peristiwa di atas hanyalah potret sebagian kecil dari kelompok rentan yang kerap mendapatkan ketidakadilan. Hal ini bertentangan dengan konstitusi Indonesia, UUD 1945. Karenanya, kita perlu memastikan negara dapat menjamin hak dan suara kelompok rentan karena mereka tetaplah warga negara Indonesia. Sebagai tambahan, kita perlu mendorong negara untuk melihat bagaimana hak dan suara kelompok rentan ini dalam konteks demokrasi dan HAM. Lantas, bagaimana posisi Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) berdasarkan philosopische grondslag (Pancasila), melihat kondis-kondisi di atas.
Negara, Hak dan Suara Kelompok Rentan
Beberapa waktu lalu, VOA Indonesia (2023) pernah memberitakan usaha Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) untuk mendesak pemerintah segera merancang Undang-Undang (UU) Anti Diskriminasi untuk melindungi mereka dari diskriminasi dan kekerasan. Kelompok yang diadvokasi oleh KAIN ini mencakup kelompok disabilitas, minoritas agama, perempuan dan anak-anak, penyandang HIV dan kelompok populasi kunci–yang terdiri atas Wanita Pekerja Seks (WPS), transgender, lelaki yang menjalin hubungan seks dengan sesama jenis, dan pengguna napza suntik (penasun).
Menurut Indonesia Judicial Research Society (IJRS) (2024), kelompok rentan yang dimaksud adalah penyandang disabilitas, lanjut usia, orang miskin, perempuan, anak-anak, pengungsi, masyarakat adat, dan pekerja migran. Pasal 5 Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM) No. 39 Tahun 1999 menyebutkan beberapa kelompok yang disebut sebagai kelompok rentan, yaitu yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya.
Dalam penjelasannya, kelompok rentan didefinisikan sebagai orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat. Sayangnya, model semacam ini justru berbahaya bila diinterpretasikan secara harfiah dan tidak dalam konteks luas. Interpretasi positivistik, seolah menyiratkan kelompok rentan yang tidak dijelaskan lebih lanjut bukanlah bagian dari mereka. Padahal, kelompok rentan lain tersebut seharusnya dipandang bagian dari definisi tersebut. Selain keterbatasan geraknya, mereka adalah kelompok paling mudah terdampak perubahan dan gejolak sosial, ekonomi, politik, dan kultural.
Padahal, jika mengacu pada International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) diadopsi oleh PBB dan mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976, ada beberapa hak yang menjadi sorotan bagi negara-negara di dunia untuk dipenuhi secara bertanggungjawab, yaitu: Pertama, hak untuk hidup dan martabat manusia; Kedua, persamaan di depan hukum; Ketiga, kebebasan berbicara, berkumpul, dan berasosiasi; Keempat, kebebasan beragama dan privasi, dan; Kelima, kebebasan dari penyiksaan. ICCPR ini kemudina diratifikasi oleh Indonesia yang kemudian dimuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Dengan demikian, negara Indonesia wajib memenuhi tuntutan hukum atas hak tersebut sebagai wujud dari asas-asas pemerintahan yang layak, konsistensi dan komitmen pemerintah terhadap pelaksanaan dan jaminan HAM tanpa terkecuali.
Namun, justru beberapa kelompok rentan seolah sulit mendapatkan ruang, bahkan untuk sekadar memberikan sumbangsih gagasan di setiap momentum perumusan kebijakan, minimal untuk dapat diperhatikan keberadaan mereka. Beberapa kasus seolah menyiratkan bahwa kelompok-kelompok yang sejak awal didefinisikan sebagai “penyimpangan” dari norma sosial, immoral (bahkan), akan dianggap sebagai aib, penyakit (patologi) yang harus “dikembalikan” atau “disembuhkan”, bukan untuk dilibatkan dalam perumusan kebijakan dan berpartisipasi dalam pembangunan negara. Sejak awal, kelompok rentan ini seolah mendapatkan penolakan hingga pengabaian. Padahal, keterlibatan mereka dalam partisipasi publik dan perumusan kebijakan diperlukan agar negara dapat mempertimbangkan cara pandang yang lebih komprehensif, khususnya bagi kelompok rentan terpinggirkan. Beberapa di antara mereka bahkan berharap sesederhana untuk tidak dipandang sebagai hama, namun sebagai manusia dan warga negara yang berhak andil dalam proses pemerintahan, dan mendapatkan hak utamanya, keamanan dan kesejahteraan.
Contoh jelas lainnya adalah kasus kekerasan terhadap perempuan Berdasarkan Catatan Tahunan Kekerasan Terhadap Perempuan 2023 dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (2024), terdapat 6.305 kasus kekerasan terhadap perempuan. Walaupun jumlahnya mengalami penurunan, hal ini mengindikasikan akibat dari beberapa faktor yang mendorong korban perempuan untuk tidak melaporkan kasus kekerasan yang dialami, seperti terbatasnya akses korban terhadap layanan pengaduan, lemahnya sistem pendokumentasian kasus, masih tingginya stigma sosial terhadap korban kekerasan yang menyebabkan mereka enggan untuk mengadu, dan kepastian perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan.
Mari tengok kelompok dengan HIV/AIDS atau LGBT hingga homoseksual. Terlepas dari konservatisme penulis terkait orientasi seksual, saya memiliki cara pandang dalam menghormati orang untuk berusaha berlaku adil pada mereka, karena itu jalan hidup mereka. Sejauh tidak menjadikan saya musuh, maka mereka adalah teman dalam kemanusiaan. Namun, tentu tidak semua orang punya cara pandang seperti ini. Bahkan, penulis mengamati hampir sebagian besar warga net membenci LGBT hingga kepada persona orangnya. Beberapa komentar bahkan menginginkan kekejian pada mereka, seperti menghunuskan pedang, membakar, dan lainnya. Hal ini dipandang mengerikan, karena nilai-nilai Pancasila dan konstitusi yang menjaga hak hidup warga negaranya, justru dibatalkan oleh emosi warganya sendiri.
Aktor sosial-negara mesti melihat persoalan kelompok rentan tidak sebatas berdiri mandiri, namun interseksionalitas dan fenomenologis. Perspektif interseksional tidak hanya mengungkap perbedaan sosial tetapi juga bagaimana berbagai struktur kekuasaan mereproduksi ketidakadilan sosial dalam konteks tertentu; ketidakadilan yang memengaruhi kerentanan selama krisis (Kuran, dkk., 2020).
Kita harus menyadari bahwa tersendatnya pemenuhan hak dan partisipasi kelompok rentan dalam politik maupun kebijakan, bukan saja karena persoalan keterbatasan, tapi juga kekhawatiran akan dampak kesejahteraan bahkan keamanan mereka. Lebih dalam lagi, menurut Siagian dan Subroto (2024), kondisi rentan ini dapat disebabkan karena kurangnya aset (apa yang dimiliki), akses (geografis), kesenjangan gender (kebudayaan), dan sistemik (sistem sumber yang dikuasi oleh golongan tertentu).
Semua itu berimplikasi pada partisipasi publik kelompok rentan. Tanpa hak suara dan partisipasi mereka, bagaimana mungkin pemangku kebijakan dapat mengambil langkah dalam menyelesaikan kasus kekerasan, baik terhadap pelaku maupun korban dan kesejahteraannya di masa depan?
Hal ini belum termasuk peran media, terutama media konvensional, dalam membuat kelompok rentan kian terpinggirkan dan kurang mendapatkan perhatian. Media arus utama cenderung menggunakan komunikasi searah, alih-alih komunikasi interaktif yang memungkinkan warga menjadi rekan penciptaan konten dan secara aktif terlibat dalam kegiatan berwacana di dalamnya (Nugroho, dkk., 2012). Kurangnya akses terhadap informasi, kurangnya keamanan akibat prasangka publik, dan rendahnya representasi dari kelompok rentan, selalu tidak menjadi perhatian media. Bahkan, bukan dianggap sebuah “komoditas informasi” yang menjanjikan. Untung, masih ada media yang mau meliputnya, itupun ada pula yang telah melalui penyuntingan ketat agar dapat “diterima” publik.
Oleh karena itu, hak dan suara dari kelompok rentan diperlukan bahkan mesti masuk dalam pertimbangan pemerintah dalam membuat regulasi maupun kebijakan. Hal itu diwajibkan sebagai wujud dari asas pemerintahan yang layak berdasarkan prinsip Pancasila. Pengabaian terhadap hak-hak kelompok rentan, tidak hanya berimplikasi pada kesejahteraan dan keamanan mereka sendiri, tapi juga menjadi kecacatan demokrasi yang nyata di negara dengan status flawed democracy.
Maka dari itu, hal yang perlu diwujudkan oleh negara dan masyarakat (umumnya), agar hak dan suara kelompok rentan ini gaung adalah keamanan dan kesejahteraannya. Diharapkan jiwa aktivisme mereka tidak mati dan dapat memberikan ruang bagi kelompok ini untuk menglarifikasi setiap tuduhan keji yang mereka dapatkan dan memberikan gagasannya dalam setiap perumusan kebijakan negara.
DAFTAR PUSTAKA
BBC.com. (2023, Agustus 1). Satpol PP di Dharmasraya Dipecat Karena 'Diduga LGBT', Pegiat: 'Orientasi Seksual Tak Bisa Jadi Dasar Pemecatan'. Diakses dari www.bbc.com: https://www.bbc.com/indonesia/articles/crgjjm4k49po
BBC.com. (2024, Juni 13). Petani Desa Pakel di Banyuwangi Ditangkap di Tengah Pusaran Konflik Agraria 'Warisan Orde Baru'. Diakses dari www.bbc.com: https://www.bbc.com/indonesia/articles/cp33rmlyd82o
Indonesia Judicial Research Society. (2024). Kelompok Rentan. Diakses dari ijrs.or.id: http://ijrs.or.id/wp-content/uploads/2021/11/KH-INFOG-Kelompok-Rentan.pdf
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (2024). Momentum Perubahan: Peluang Penguatan Sistem Penyikapan di Tengah. CATAHU 2023: CATATAN TAHUNAN. Daerah Khusus Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Kompas.com. (2024, Maret 19). Perempuan Penyandang Disabilitas Rentan Jadi Korban Kekerasan. Diakses dari lestari.kompas.com: https://lestari.kompas.com/read/2024/03/19/140000886/perempuan-penyandang-disabilitas-rentan-jadi-korban-kekerasan
Kuran, C. H., Morsut, C., Kruke, B. I., Krüger, M., Segnestam, L., Orru, K., . . . Torpan, S. (2020). Vulnerability and Vulnerable Groups From an Intersectionality Perspective. International Journal of Disaster Risk Reduction, 1-28. doi:10.1016/j.ijdrr.2020.101826.
Nugroho, Y., Nugraha, L. K., Laksmi, S., Amalia, M., Putri, D. A., & Amalia, D. (2012). Media dan Kelompok Rentan di Indonesia: Kisah dari yang Terpinggirkan dan Tersisihkan (Edisi Bahasa Indonesia). Daerah Khusus Jakarta: Centre for Innovation Policy and Governance dan HIVOS.
Siagian, J. P., & Subroto, M. (2024). Perempuan Sebagai Kelompok Rentan. Jurnal Educatio, X(1), 173-178. doi:doi.org/10.31949/educatio.v10i1.6940
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik)
VOA Indonesia. (2023, Agustus 25). Kelompok Rentan Desak Pemerintah Buat UU Anti Diskriminasi. Diakses dari www.voaindonesia.com: https://www.voaindonesia.com/a/kelompok-rentan-desak-pemerintah-buat-uu-anti-diskriminasi/7241074.html

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

One Piece: Simbol Gugatan dan Kritik terhadap Pemerintahan
Kamis, 4 September 2025 12:36 WIB
Kriminalisasi Non-Kriminal dalam Kultur Hukum Kita
Jumat, 1 Agustus 2025 21:47 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler